Jalur evakuasi adalah lintasan yang digunakan sebagai pemindahan langsung dan cepat dari orang-orang yang akan menjauh dari ancaman atau kejadian yang dapat membahayakan. Evakuasi terbagi menjadi dua jenis, yakni:
Jumlah dan kapasitas jalur evakuasi biasanya menyesuaikan dengan jumlah penghuni gedung dan ukuran gedung tersebut. Kebutuhan jalur evakuasi dipengaruhi oleh waktu rata-rata untuk mencapai lokasi yang aman (titik kumpul) yang berada di halaman gedung dan tidak ada bangunan di atasnya.
Dalam merancang jalur evakuasi, pengelola gedung juga harus memerhatikan banyak hal, misalnya ketersediaan tangga, pintu yang digunakan, dan sarana evakuasi lainnya. Para ahli keselamatan merekomendasikan setiap gedung memiliki minimal dua atau lebih jalur evakuasi.
Persyaratan Jalur Evakuasi
Penandaan Sarana Jalan Keluar
Sesuai SNI 03-1746- 2000 dan Permen PU Nomor 26 Tahun 2008, sarana jalan keluar pada sebuah bangunan gedung harus diberi tanda. Eksit, selain dari pintu eksit utama di bagian luar bangunan gedung, harus diberi tanda dengan sebuah tanda yang disetujui yang mudah terlihat dari setiap arah akses eksit.
Penandaan eksit harus memenuhi kriteria:
Akses Eksit
Akses ke eksit juga harus diberi tanda dengan tanda yang disetujui, mudah terlihat di semua keadaan di mana eksit atau jalan untuk mencapainya tidak terlihat oleh pengguna dan pengunjung bangunan gedung. Tanda harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga tidak ada titik di dalam akses eksit koridor yang ditempatkan lebih dari 30 m dari tanda terdekat.
Tanda Eksit Dekat Permukaan Lantai
Apabila tanda eksit terdekat diperlukan, tanda eksit harus diletakkan di dekat permukaan lantai sebagai tambahan tanda yang diperlukan untuk pintu atau koridor.
Bagian bawah dari tanda ini harus tidak kurang dari 15 cm atau tidak lebih dari 20 cm. Untuk pintu eksit tanda tersebut harus dipasangkan pada pintu atau dekat pinggir pintu terdekat dan tepi tanda tersebut dalam jarak 10 cm dari kosen pintu.
Lokasi Pemasangan
Penandaan jalan keluar di bawah yang baru akan dipasang harus diletakkan pada jarak vertikal tidak lebih dari 20 cm di atas ujung bagian atas bukaan jalan ke luar yang dimaksud/ditujukan oleh penandaan. Penandaan jalan keluar harus diletakkan pada jarak horizontal tidak lebih lebar dari yang diisyaratkan untuk bukaan jalan keluar, dimaksud untuk menunjukkan oleh penandaan ke ujung terdekat dari penandaan.
Informasi lebih lengkap mengenai penandaan arah jalan keluar tercantum dalam SNI 03 – 1746 - 2000 tentang tata cara perencanaan dan pemasangan sarana jalan ke luar untuk penyelamatan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan Permen PU Nomor 26 Tahun 2008 tentang persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan.
Dalam dunia industri, keselamatan merupakan hal yang tak bisa diabaikan. Lifeline, atau tali pengaman safety, menjadi salah satu alat penting dalam menjaga keselamatan para pekerja, terutama di lingkungan kerja yang tinggi atau berbahaya. Dan Lifeline bukan hanya sekadar tali biasa, tetapi sebuah sistem pengaman yang dirancang untuk menahan atau menopang beban serta mengamankan pekerja dari jatuh atau tergelincir.
Pengertian Lifeline
Lifeline merupakan tali yang menjadi bagian integral dari sistem keselamatan yang dirancang untuk melindungi pekerja di lingkungan kerja yang memerlukan perlindungan dari jatuh atau tergelincir. Bahan yang digunakan untuk membuat lifeline biasanya dipilih karena kekuatan dan ketahanannya terhadap tekanan dan keausan, seperti nilon yang kuat atau baja tahan lama. Namun, selain kekuatan materi, desain lifeline juga memperhitungkan fleksibilitas agar pengguna dapat bergerak dengan relatif bebas tanpa mengorbankan keamanan.
Attachment point pada lifeline menjadi komponen kunci yang memungkinkan pengguna terhubung ke anchor point dengan aman. Anchor point biasanya dipasang pada struktur yang stabil dan kuat, seperti dinding beton atau tiang baja, untuk memastikan bahwa lifeline dapat menahan beban pengguna dengan efektif. Pemasangan attachment point dan anchor point harus dilakukan dengan cermat sesuai dengan panduan keselamatan yang berlaku, serta mempertimbangkan faktor-faktor seperti beban maksimum yang akan ditanggung oleh lifeline dan posisi pengguna saat bekerja.
Dalam situasi darurat, lifeline menjadi jaminan bagi keselamatan pekerja. Ketika terjadi kejadian tak terduga seperti jatuh atau tergelincir, lifeline akan mencegah pengguna jatuh ke bawah dengan menahan beban tubuhnya. Oleh karena itu, penggunaan lifeline tidak hanya mengurangi risiko kecelakaan, tetapi juga memberikan kepercayaan diri ekstra bagi pekerja yang harus beroperasi di ketinggian atau lingkungan kerja yang berpotensi berbahaya.
Fungsi Lifeline
Lifeline memiliki beberapa fungsi utama yang mendukung keselamatan dan efisiensi di lingkungan kerja yang berpotensi berbahaya:
Manfaat Lifeline
Penggunaan lifeline dalam lingkungan kerja membawa berbagai manfaat yang signifikan bagi keselamatan dan produktivitas:
Sertifikat Ahli K3 Umum (AK3U) adalah dokumen resmi yang menyatakan bahwa seseorang memiliki kompetensi dan kualifikasi dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pengelolaan K3 di tempat kerja. Sertifikasi AK3U ini penting bagi setiap perusahaan untuk memastikan lingkungan kerja yang aman dan sehat, serta untuk memenuhi persyaratan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam konteks sertifikasi AK3U, terdapat dua lembaga utama yang mengeluarkan sertifikat ini, yaitu Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI). Meskipun keduanya memberikan pengakuan resmi sebagai ahli K3, ada perbedaan mendasar antara sertifikasi AK3U yang dikeluarkan oleh BNSP dan Kemnaker RI.
Sertifikasi AK3U dari BNSP lebih berfokus pada pengakuan kompetensi individu berdasarkan standar kompetensi kerja yang berlaku secara nasional. Uji kompetensi dalam sertifikasi ini mencakup teori, praktik, dan wawancara untuk memastikan bahwa peserta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang komprehensif di bidang K3.
Di sisi lain, sertifikasi AK3U yang dikeluarkan oleh Kemnaker RI lebih menekankan pada pemenuhan peraturan perundang-undangan terkait K3 di tempat kerja. Proses sertifikasi dari Kemnaker RI biasanya melibatkan pelatihan formal yang diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang terakreditasi, dengan fokus pada aspek-aspek keselamatan dan kesehatan kerja yang spesifik.
10 Perbedaan Sertifikasi Ahli K3 Umum BNSP dan Kemnaker RI
1. Otoritas Penerbit: Perbedaan dalam otoritas penerbit sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) terletak pada lembaga yang bertanggung jawab mengeluarkan sertifikat tersebut. Sertifikasi AK3U dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) diterbitkan oleh BNSP, sebuah lembaga independen pemerintah yang memiliki tugas utama untuk memastikan kompetensi kerja sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia. Sebagai lembaga yang fokus pada sertifikasi kompetensi, BNSP memberikan pengakuan profesional yang bersifat luas dan lintas sektor.
Di sisi lain, sertifikasi AK3U yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) langsung berada di bawah otoritas kementerian tersebut. Sertifikasi dari Kemnaker RI lebih berfokus pada pemenuhan persyaratan hukum terkait keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja, sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, perbedaan utama dalam otoritas penerbit ini mencerminkan fokus dan tujuan masing-masing lembaga dalam proses sertifikasi AK3U.
2. Dasar Hukum: Perbedaan dasar hukum antara sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) yang dikeluarkan oleh BNSP dan Kemnaker RI terletak pada regulasi yang menjadi landasan keduanya. Sertifikasi AK3U dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) mengacu pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia secara umum, serta Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2018 yang secara khusus mengatur tentang BNSP dan tugasnya dalam sertifikasi kompetensi kerja. Ini menjadikan BNSP sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan pengakuan kompetensi profesional secara nasional.
Sementara itu, sertifikasi AK3U yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) didasarkan pada peraturan yang lebih spesifik terkait keselamatan dan kesehatan kerja, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 02/MEN/1992 tentang Pembinaan K3. Regulasi ini lebih menekankan pada implementasi K3 di lingkungan kerja dan memastikan kepatuhan perusahaan terhadap standar keselamatan yang berlaku. Perbedaan dasar hukum ini mencerminkan fokus masing-masing sertifikasi, di mana BNSP lebih berorientasi pada pengakuan kompetensi secara umum, sementara Kemnaker RI lebih menekankan pada pemenuhan regulasi K3 di tempat kerja.
3. Sistem Sertifikasi: Perbedaan sistem sertifikasi antara sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) yang dikeluarkan oleh BNSP dan Kemnaker RI terletak pada pendekatan yang digunakan dalam prosesnya. Sertifikasi AK3U dari BNSP menggunakan sistem uji kompetensi yang didasarkan pada standar kompetensi kerja yang telah ditetapkan.
Dalam sistem ini, peserta sertifikasi diuji melalui serangkaian penilaian yang mencakup teori, praktik, dan wawancara untuk memastikan bahwa mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai sesuai dengan standar nasional. Sistem ini berfokus pada pengakuan kompetensi profesional, yang berarti bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh BNSP menunjukkan bahwa pemegangnya telah memenuhi standar kompetensi yang diakui secara nasional di berbagai sektor industri.
Di sisi lain, sertifikasi AK3U dari Kemnaker RI lebih berbasis pada pelatihan formal yang diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang telah terakreditasi oleh Kemnaker RI. Proses sertifikasi ini menekankan pada pelatihan yang sesuai dengan regulasi K3, dimana peserta harus mengikuti pelatihan yang telah ditetapkan dan lulus ujian yang diselenggarakan oleh LPK tersebut. Dengan demikian, sistem sertifikasi Kemnaker RI lebih terfokus pada pemenuhan regulasi K3 di tempat kerja.
4. Pengakuan Nasional: Sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) yang diterbitkan oleh BNSP dan Kemnaker RI keduanya memiliki pengakuan secara nasional, namun dengan fokus yang sedikit berbeda. Sertifikat yang dikeluarkan oleh BNSP diakui secara nasional sebagai standar kompetensi yang berlaku di berbagai industri. Pengakuan ini menjadikan sertifikat BNSP sebagai salah satu tolok ukur utama bagi profesional di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang bisa digunakan untuk menunjukkan kompetensi individu di berbagai sektor kerja. Hal ini membuka peluang karier yang lebih luas bagi pemegang sertifikat, karena kompetensi mereka diakui di seluruh Indonesia.
Sementara itu, sertifikasi AK3U yang dikeluarkan oleh Kemnaker RI juga diakui secara nasional, namun pengakuan ini lebih berfokus pada penerapan peraturan ketenagakerjaan dan K3 di perusahaan. Sertifikat dari Kemnaker RI seringkali menjadi syarat yang diperlukan untuk memenuhi kepatuhan terhadap regulasi K3 yang berlaku di berbagai industri, khususnya dalam pengawasan dan pengelolaan K3 di tempat kerja. Pengakuan nasional ini memastikan bahwa pemegang sertifikat dari Kemnaker RI dianggap memenuhi standar minimum yang diperlukan untuk menjalankan tugas K3 sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
5. Validitas Sertifikat: Validitas sertifikat Ahli K3 Umum (AK3U) yang dikeluarkan oleh BNSP dan Kemnaker RI memiliki pendekatan yang sedikit berbeda terkait masa berlakunya. Sertifikat yang dikeluarkan oleh BNSP umumnya memiliki masa berlaku tertentu, biasanya selama beberapa tahun, dan memerlukan perpanjangan melalui proses uji kompetensi ulang. Hal ini memastikan bahwa pemegang sertifikat tetap memiliki kompetensi yang relevan dan sesuai dengan perkembangan terbaru di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Di sisi lain, sertifikat AK3U yang dikeluarkan oleh Kemnaker RI juga memiliki masa berlaku, namun lebih menekankan pada pembaruan melalui pelatihan lanjutan yang disyaratkan oleh regulasi. Pelatihan lanjutan ini bertujuan untuk memperbarui pengetahuan dan keterampilan pemegang sertifikat agar tetap sesuai dengan standar keselamatan kerja yang berlaku, serta untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan K3 yang terus berkembang.
6. Jenis Uji Kompetensi: Jenis uji kompetensi yang digunakan dalam sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) oleh BNSP dan Kemnaker RI juga berbeda dalam pendekatannya. Uji kompetensi BNSP terdiri dari beberapa komponen, yaitu uji teori, praktik, dan wawancara. Penilaian ini dirancang untuk mengevaluasi secara menyeluruh penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh peserta sertifikasi, sehingga memastikan bahwa mereka benar-benar kompeten dalam melaksanakan tugas K3 di tempat kerja. Penekanan BNSP adalah pada pengakuan profesional berdasarkan kompetensi yang terstandarisasi secara nasional.
Sementara itu, uji kompetensi yang dilakukan oleh Kemnaker RI lebih fokus pada ujian tertulis dan praktik yang langsung berkaitan dengan keselamatan kerja sesuai dengan regulasi K3 yang berlaku. Ujian ini dirancang untuk memastikan bahwa peserta memiliki pemahaman yang kuat tentang peraturan K3 serta mampu menerapkannya secara efektif di tempat kerja.
7. Penyelenggara Pelatihan: Perbedaan dalam penyelenggaraan pelatihan untuk sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) oleh BNSP dan Kemnaker RI juga signifikan. Pelatihan dan uji kompetensi untuk sertifikasi yang dikeluarkan oleh BNSP dapat diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang telah terakreditasi oleh BNSP. LSP ini berperan penting dalam memastikan bahwa pelatihan yang diberikan sesuai dengan standar kompetensi nasional yang telah ditetapkan, serta bahwa uji kompetensi dilakukan secara objektif dan terstandarisasi.
Di sisi lain, pelatihan untuk sertifikasi AK3U yang dikeluarkan oleh Kemnaker RI diselenggarakan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang telah terdaftar dan diakreditasi oleh Kemnaker. LPK ini bertanggung jawab untuk memberikan pelatihan yang sesuai dengan peraturan K3 yang berlaku, dan memastikan bahwa peserta pelatihan memenuhi syarat untuk mengikuti ujian sertifikasi yang relevan. Pendekatan ini lebih terfokus pada kepatuhan terhadap regulasi keselamatan kerja di tempat kerja.
8. Fokus Pelatihan: Fokus pelatihan pada sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) yang dikeluarkan oleh BNSP dan Kemnaker RI berbeda dalam cakupannya. Sertifikasi dari BNSP menekankan pada pengembangan kompetensi yang luas, mencakup berbagai aspek pekerjaan di berbagai industri, bukan hanya terbatas pada keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pelatihan ini bertujuan untuk membekali peserta dengan keterampilan dan pengetahuan yang relevan untuk berbagai sektor, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan berbagai situasi kerja yang berbeda.
Contoh seorang profesional K3 yang bekerja di perusahaan multinasional mungkin mengikuti pelatihan AK3U BNSP yang mencakup topik seperti manajemen risiko, analisis kecelakaan kerja, dan pengelolaan lingkungan. Pelatihan ini memberikan pemahaman yang luas yang bisa diterapkan di berbagai industri, mulai dari manufaktur hingga konstruksi.
Di sisi lain, pelatihan untuk sertifikasi yang dikeluarkan oleh Kemnaker RI lebih fokus pada keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan regulasi yang berlaku. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa peserta memiliki pemahaman yang mendalam tentang peraturan K3 dan mampu menerapkannya secara efektif untuk menjaga keselamatan di tempat kerja.
9. Biaya Sertifikasi: Biaya sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) juga berbeda antara yang dikeluarkan oleh BNSP dan Kemnaker RI, terutama terkait dengan proses dan cakupan sertifikasi. Pembiayaan sertifikasi melalui BNSP cenderung lebih tinggi karena proses uji kompetensi yang lebih komprehensif dan mencakup berbagai aspek industri. Uji kompetensi yang ketat dan pelatihan yang luas ini memerlukan sumber daya yang lebih besar, sehingga biaya yang dikenakan pun lebih mahal.
Contohnya seorang insinyur K3 yang ingin mendapatkan sertifikasi dari BNSP mungkin harus mengeluarkan biaya lebih tinggi, sekitar Rp10 juta, karena pelatihan dan uji kompetensi yang mencakup berbagai topik dan memerlukan pengujian yang lebih komprehensif.
Sebaliknya, biaya sertifikasi melalui Kemnaker RI umumnya lebih terjangkau, terutama jika pelatihan dilakukan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang disubsidi oleh pemerintah. Biaya yang lebih rendah ini membuat sertifikasi lebih mudah diakses oleh pekerja dan perusahaan yang membutuhkan pengakuan K3 sesuai dengan regulasi.
Contoh seorang pekerja di perusahaan kecil mengikuti pelatihan AK3U melalui LPK yang disubsidi oleh pemerintah. Biaya sertifikasi ini hanya sekitar Rp2 juta, karena pelatihannya lebih fokus pada aspek K3 spesifik yang diwajibkan oleh regulasi, dan sebagian biaya ditanggung oleh subsidi.
10. Penggunaan di Lapangan: Penggunaan sertifikasi Ahli K3 Umum (AK3U) di lapangan juga menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sertifikasi dari BNSP dan Kemnaker RI. Sertifikasi BNSP sering digunakan sebagai alat untuk pengakuan profesional dalam berbagai sektor industri, yang dapat meningkatkan mobilitas karier pemegang sertifikat. Pengakuan kompetensi yang diberikan oleh BNSP membuka peluang yang lebih luas bagi pemegang sertifikat untuk bekerja di berbagai bidang yang memerlukan standar keselamatan dan keterampilan khusus.
Contohnya, seorang ahli K3 yang bekerja di perusahaan konsultan internasional menggunakan sertifikasi BNSP-nya untuk melamar posisi di berbagai proyek, baik di dalam maupun luar negeri, karena pengakuan kompetensinya yang bersifat nasional dan lintas sektor.
Sebaliknya, sertifikasi dari Kemnaker RI lebih diutamakan untuk memenuhi persyaratan hukum di bidang ketenagakerjaan dan K3 di perusahaan. Sertifikasi ini menjadi penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa mereka mematuhi peraturan K3 yang berlaku, sehingga pemegang sertifikat dari Kemnaker RI sering diprioritaskan untuk peran yang terkait dengan pengawasan dan penerapan keselamatan kerja di lingkungan perusahaan.
Contohnya, Seorang manajer keselamatan di perusahaan manufaktur besar di Indonesia memegang sertifikasi dari Kemnaker RI untuk memastikan bahwa perusahaannya mematuhi semua regulasi K3 yang diwajibkan oleh pemerintah. Sertifikasi ini sangat penting untuk audit dan inspeksi yang dilakukan oleh otoritas setempat.
Mengetahui klasifikasi area berbahaya merupakan hal yang sangat penting dalam lingkungan kerja karena dapat membantu mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko yang mungkin terjadi. Kecelakaan kerja dapat memiliki dampak negatif yang serius, termasuk cedera fisik yang parah atau bahkan kematian bagi pekerja yang terlibat.
Selain itu, kecelakaan juga dapat merugikan perusahaan dengan menyebabkan kerusakan pada peralatan dan properti, mengganggu produktivitas, serta menimbulkan biaya medis dan kompensasi yang tinggi.
Tips Menerapkan Tindakan Pencegahan di Tempat Kerja
Menerapkan tindakan pencegahan di tempat kerja memerlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu dalam menerapkan tindakan pencegahan di tempat kerja:
Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman adalah tanggung jawab bersama. Keselamatan kerja merupakan prioritas yang harus dipegang oleh semua pihak terlibat, baik manajemen perusahaan maupun para pekerja. Dengan memahami klasifikasi area berbahaya dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat, kita dapat meminimalkan risiko kecelakaan kerja yang serius.
Dan dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan yang sesuai, seperti pelatihan keselamatan, penggunaan peralatan pelindung diri, dan penegakan prosedur keselamatan, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi semua.
Penilaian risiko kebakaran dirancang untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya kebakaran dengan mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko kebakaran di dalam gedung. Namun, tidak hanya memeriksa struktur bangunan itu sendiri, tapi isi bangunan, tata letak, dan penggunaan bangunan. Bagaimana penggunaan bangunan tersebut mempengaruhi risiko kebakaran? Berapa banyak orang yang ada di dalam gedung? Bagaimana mereka akan selamat jika terjadi kebakaran? Langkah apa yang harus diambil untuk meminimalisir bahaya?
Untuk bisnis atau bangunan umum seperti toko, gedung perkantoran, atau tempat-tempat vital lainnya dan bahkan stasiun bis dan kereta api, perlu dilakukan penilaian risiko kebakaran. Semua properti perlu mendapat penilaian risiko kebakaran. Ini bukan dokumen opsional dan diwajibkan oleh hukum Inggris.
Penilaian Resiko Kebakaran adalah proses yang melibatkan evaluasi sistematis terhadap faktor-faktor yang menentukan bahaya kebakaran, serta kemungkinan kebakaran akan terjadi, dan konsekuensinya jika terjadi.
5 langkah untuk Penilaian Risiko:
Penting untuk diingat bahwa Penilaian Resiko Kebakaran Anda harus menunjukkan bahwa sejauh masuk akal, Anda telah mempertimbangkan kebutuhan semua orang yang relevan termasuk penyandang cacat, atau gangguan yang dapat mengurangi pelarian mereka dari tempat tersebut.
Tapi mengapa perlu penilaian risiko kebakaran?
Alasannya adalah bahwa penilaian risiko kebakaran diperlukan karena diatur dalam Regulatory Reform (Fire Safety) Order 2005. Di Indonesia Penerapan FRA ini dapat mengacu kepada standar National Fire Protection Association (NFPA) dan juga peraturan lokal seperti PerMen PU No. 26 Tahun 2008. Pengelolaan proteksi kebakaran adalah upaya mencegah terjadinya kebakaran atau meluasnya kebakaran ke ruangan-ruangan ataupun lantai-lantai bangunan, termasuk ke bangunan lainnya melalui eliminasi ataupun minimalisasi risiko bahaya kebakaran, pengaturan zona-zona yang berpotensi menimbulkan kebakaran, serta kesiapan dan kesiagaan sistem proteksi aktif maupun pasif.
Secara sederhana, peraturan tersebut menyatakan bahwa penilaian risiko kebakaran harus dilakukan, namun juga mencantumkan berbagai persyaratan lainnya seperti: siapa yang dapat melakukan penilaian risiko kebakaran, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kebakaran, bagaimana prosedur dalam tanggap darurat dan untuk wilayah rawan bahaya, bagaiamana memberikan sosialisasi kepada setiap karyawan sehingga karyawan mampu menyelamatkan diri, dan informasi apa yang harus diberikan kepada karyawan.
Penting untuk dipahami bahwa kegagalan mematuhi Regulasi (Keselamatan Kebakaran) atau kelalaian yang menyebabkan kebakaran pada orang lain dapat dituntut secara pidana kurungan paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama setahun menurut pasal 188 KUHP. Dalam beberapa kasus, pihak yang bersalah berakhir dengan hukuman penjara.
Penting untuk dicatat bahwa undang-undang meminta penilaian risiko agar ‘sesuai’ dan ‘cukup’. Masalahnya adalah bahwa ada tingkat interpretasi di sini: apa yang mungkin cocok untuk satu properti tentu tidak akan sesuai untuk yang lain. Inilah sebabnya mengapa penting untuk menyesuaikan penilaian risiko kebakaran di masing-masing lokasi, serta untuk memperbarui dan meninjau penilaian saat dan kapan perubahan terjadi, seperti saat ruangan dipindahkan, orang-orang di bangunan tersebut berubah (terutama jika terdapat anak-anak atau orang cacat atau lanjut usia).
Siapa pun dapat melakukan penilaian risiko kebakaran, asalkan dianggap ‘kompeten’, namun baru-baru ini ditemukan bahwa banyak pemilik bisnis tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan untuk menyelesaikan penilaian risiko tanpa bantuan. Masalahnya muncul ketika orang yang melakukan penilaian risiko kebakaran tidak memiliki pengalaman dan kemampuan untuk sepenuhnya menganalisis risiko. Bagaimana jika risiko atau bahaya tidak terjawab?
Tapi bagaimana Anda menemukan penilai risiko yang andal? Jawabannya sederhana: use only verified and certified risk assessors!
Penilaian risiko kebakaran mudah dilakukan, namun sulit dilakukan dengan baik. Hampir semua orang yang memiliki latar belakang di industri kebakaran dapat menjadikan diri mereka sebagai penilai risiko kebakaran yang ‘profesional’. Bahkan ada ratusan perusahaan yang mengaku sebagai ‘expert’ risk assessors, namun tanpa ada bukti nyata seperti tidak memiliki sertifikat.